TIMES MEDAN, PACITAN – Petani jagung di Kabupaten Pacitan mengaku kesulitan menjual hasil panen ke Bulog setempat. Standar kualitas yang ketat dan lokasi gudang yang jauh membuat mereka lebih memilih menjual ke pedagang lokal, meski dengan harga lebih rendah.
"Kalau standarnya tinggi, kami pilih jual ke tengkulak, praktis dan nggak ribet," ungkap petani asal Donorojo, Jumelan (58), Senin (28/7/2025).
Jumelan berharap, pemerintah punya solusi agar hasil panen jagung bisa terserap secara optimal. "Ya, harapannya sih jagung bisa masuk ke pemerintah, soalnya kami sudah banyak modal dah tenaga," harapnya.
Saat ini, harga jagung kering pipilan di Pasar Ajosari, Arjowinangun dan Minulyo Rp7.166 per kilogram.
Sementara Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Pacitan, Sugeng Santoso, menjelaskan bahwa untuk penyerapan beras dan jagung, pihaknya bersinergi dengan Bulog. Namun, tidak semua hasil panen petani bisa diterima.
“Terkait komoditas beras dan jagung, kita bersinergi dengan Bulog. Karena untuk penyerapan hasil produksi kewenangannya ada di Bulog,” ujar Sugeng, ditemui terpisah.
Menurutnya, Bulog memiliki standar khusus terkait kualitas beras dan jagung. Untuk beras, standarnya lebih longgar. “Kalau kemarin, gabah apapun kondisinya bisa diserap Bulog dengan harga Rp6.500 per kilogram, tanpa memperhatikan kualitas,” jelasnya.
Namun untuk jagung, kriterianya lebih ketat. Salah satunya kadar air harus di bawah 14 persen. Hal ini menjadi kendala utama petani di Pacitan. “Jagung itu harus memenuhi kriteria. Misalnya kadar air harus di bawah 14 persen, itu yang jadi hambatan petani Pacitan untuk masuk ke Bulog,” tambah Sugeng.
Selain itu, pengiriman jagung juga harus dilakukan ke gudang Bulog di Ponorogo, termasuk proses pembayarannya. Hal ini dinilai menyulitkan petani kecil.
“Petani harus kirim ke Ponorogo. Tapi kami sudah minta agar Bulog Pacitan bisa melakukan cek kualitas di sini, jadi kalau dikirim ke Ponorogo tidak sampai ditolak. Itu untuk antisipasi kerugian petani,” terang Sugeng.
Hingga kini, lanjutnya, belum banyak petani yang menjual jagung ke Bulog karena syarat-syarat tersebut. Termasuk ketentuan soal kemasan dan karung yang harus standar.
“Petani merasa agak kesulitan dengan ketentuan harus disak baru dan kemasannya tidak boleh sembarangan,” ujar Sugeng.
Alhasil, mayoritas petani memilih menjual langsung ke pedagang lokal. Meski harga yang ditawarkan di bawah harga Bulog, prosesnya lebih mudah. “Yang dulu Rp5.500, saat ini ada HET baru untuk jagung sebesar Rp6.400 perkilogram dengan kadar air 14 persen dan bebas jamur. Petani memilih jalur yang praktis,” jelasnya.
Sementara untuk komoditas beras, dari hasil pemantauan DKPP bersama Satgas Pangan, belum ada penggilingan padi di Pacitan yang mampu memproduksi beras kualitas premium.
Terkait program ketahanan pangan, Sugeng menyebut bahwa Pacitan justru melampaui target tanam. “Target luas tanam dari Januari hingga 16 Juli adalah 276 hektare. Tapi saat ini sudah hampir 350 hektare. Jadi sudah melampaui target,” katanya.
DKPP juga menggencarkan Gerakan Menanam Cabai melalui kelompok wanita tani (KWT) di berbagai kecamatan, seperti Sudimoro, Arjosari, dan Pacitan. “Gerakan ini untuk menopang ketersediaan cabai. Kelompok wanita tani mendapatkan dukungan anggaran dari pemerintah pusat,” ujar Sugeng.
Ada 10 kelompok yang masing-masing mendapat anggaran antara Rp50 hingga Rp60 juta. Jenis komoditas yang ditanam tiap kelompok berbeda-beda. “Misalnya di Desa Sedayu, Arjosari, menanam 2.000 bibit cabai. Kalau satu batang bisa menghasilkan satu kilogram, tinggal menghitung saja potensi panennya,” imbuh Sugeng.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa hasil panen bisa dipengaruhi hama, seperti wereng. “Kalau tidak terserang wereng, potensi hasilnya cukup besar,” pungkasnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Bulog Tak Serap Jagung Produksi Lokal, Petani di Pacitan Pilih Jual ke Pedagang
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Ronny Wicaksono |