https://medan.times.co.id/
Opini

Solidaritas Elit di Atas Derita Rakyat

Minggu, 24 Agustus 2025 - 14:30
Solidaritas Elit di Atas Derita Rakyat Dandy Sihotang, Ketua Bidang Aksi dan Pelayanan BPC GMKI Medan.

TIMES MEDAN, MEDAN – Pengesahan Besaran gaji pokok anggota DPR beserta tunjangan-tunjangannya yang menyentuh sekitar Rp104 juta per bulan ini angka yang dinilai cukup fantastis. jika coba kita telisik beberapa diantaranya; Tunjangan listrik Rp3,5 juta per bulan memberi kesan bahwa rumah seorang legislator setara dengan gedung perkantoran.

Tunjangan telepon Rp4,2 juta per bulan seakan menegaskan bahwa komunikasi mereka tidak sekadar menyambungkan suara, tetapi mungkin juga membuka “portal dimensi” yang bisa menghubungkan satu dimensi dengan dimensi lain: dari dunia nyata ke dunia paralel, atau komunikasi ke alam gaib, atau dari satu waktu ke masa lain. 

Sementara itu, tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan memperlihatkan bahwa “rumah rakyat” yang mereka maksud jelas berbeda definisinya dengan rumah rakyat pada umumnya: bagi legislator, rumah berarti apartemen mewah di pusat kota; bagi rakyat, rumah berarti kontrakan sempit dengan atap bocor.

Kenyataan ini adalah ironi yang terus berulang dalam politik Indonesia. Ketika menyangkut kepentingan rakyat, perdebatan di DPR bisa panjang, alot, bahkan berakhir tanpa keputusan. Namun, ketika menyangkut kepentingan mereka sendiri, seperti isu kenaikan gaji, suara bisa bulat, barisan bisa rapat, dan keputusan dapat diambil tanpa hambatan. Fenomena ini memperlihatkan sebuah pola yang memprihatinkan: solidaritas elit justru lebih kuat daripada solidaritas kepada rakyat.

Buruh saja yang menuntut kenaikan upah minimum harus berbulan-bulan turun ke jalan, menghadapi risiko bentrokan dan kriminalisasi. Petani yang mempertahankan tanahnya sering dipinggirkan. Nelayan yang berjuang menjaga lautnya kerap diabaikan. 

Sebaliknya, ketika DPR membicarakan kenaikan gaji, pembahasan berjalan lancar. Solidaritas elit bekerja mulus, seakan-akan semua perbedaan politik bisa lenyap demi kepentingan bersama mereka. Solidaritas ini jelas salah arah. Rakyat yang seharusnya menjadi pusat perhatian justru ditinggalkan, sementara kenyamanan elit diutamakan.

Krisis Etika Politik

Perbincangan kenaikan gaji DPR semakin menohok ketika dilihat dari konteks sosial. Harga beras naik, biaya pendidikan dan kesehatan kian memberatkan, pengangguran masih tinggi, dan ketimpangan sosial makin tajam. Di tengah kondisi ini, DPR justru sibuk membicarakan peningkatan kesejahteraan dirinya sendiri. 

Masalahnya bukan hanya soal angka, melainkan juga soal etika politik. Bagaimana mungkin wakil rakyat meminta penghargaan lebih besar sementara kualitas legislasi masih sering dipertanyakan, dan kasus korupsi yang melibatkan anggota dewan masih terus bermunculan? 

Kenaikan gaji bisa saja dibenarkan secara logika formal-tugas DPR berat, tanggung jawab besar, dan gaji tinggi dianggap bisa mencegah korupsi. Namun tanpa integritas, argumen itu runtuh. Publik tidak bisa diyakinkan dengan alasan rasional ketika etika dan nurani diabaikan.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah politik di Indonesia masih dipandang sebagai jalan pengabdian, atau sudah sepenuhnya menjadi profesi? 

Jika politik dianggap profesi, maka wajar jika gaji tinggi dan fasilitas mewah dituntut. Tetapi jika politik adalah pengabdian, maka ukuran utamanya bukan pada seberapa banyak yang diperoleh, melainkan seberapa besar yang dikorbankan demi kepentingan rakyat.

Sayangnya, sikap DPR yang kompak untuk menerima keputusan tersebut menunjukkan orientasi profesi lebih dominan daripada orientasi pengabdian. Mereka lebih cepat memperjuangkan kesejahteraan dirinya ketimbang menunda demi solidaritas bersama rakyat. 

Sepakatnya DPR pada keputusan untuk kenaikan gaji bukan sekadar sikap pasif. Sepakat sama saja mengkhianati rasa keadilan sosial. Jurang antara rakyat dan wakilnya pun semakin lebar. 

Padahal, jika ada satu saja anggota DPR yang berani menolak, suara itu bisa menjadi simbol moral secercah harapan bahwa politik belum sepenuhnya kehilangan nurani. Namun, kebulatan suara dalam diam justru memperkuat kesan bahwa politik telah tercerabut dari moralitas publik.

Jalan yang Lebih Bermartabat

Semestinya yang dilakukan DPR bukan sekadar menampik kritik, melainkan menunjukkan empati politik yang nyata. Langkah pertama adalah melakukan moratorium kenaikan tunjangan hingga kondisi ekonomi rakyat benar-benar pulih, sebagai wujud kesediaan wakil rakyat merasakan denyut kesulitan konstituennya. 

Selanjutnya, seluruh komponen gaji dan tunjangan harus dipublikasikan secara transparan agar rakyat mengetahui dengan jelas bagaimana uang pajak mereka digunakan, sekaligus membangun kembali kepercayaan publik yang kian terkikis. 

Selain itu, pemberian tunjangan seharusnya berbasis pada evaluasi kinerja nyata, seperti jumlah RUU yang disahkan sesuai prolegnas, kualitas fungsi pengawasan, serta konsistensi memperjuangkan kepentingan rakyat, sehingga tunjangan tidak lagi dipandang sebagai hak otomatis melainkan konsekuensi dari kerja konkret. 

Terakhir, DPR perlu menampilkan gaya hidup sederhana, bukan simbol kemewahan, karena kesederhanaan akan mendekatkan wakil rakyat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat, menumbuhkan keteladanan moral, dan mengikis citra politik sebagai jalan pintas menuju kenyamanan pribadi.

Rakyat bukan massa pasif yang mudah dilupakan. Mereka mencatat setiap sikap wakilnya. Kenaikan gaji DPR tanpa ada satu pun penolakan akan tercatat sebagai preseden buruk bukti bahwa solidaritas elit lebih kuat daripada solidaritas rakyat. Namun rakyat juga punya caranya sendiri untuk menilai. 

Di bilik suara, dalam kritik di ruang publik, atau bahkan dalam sikap apatis terhadap politik, mereka bisa menyampaikan kekecewaan. Ketika kepercayaan publik hilang, legitimasi DPR akan runtuh, betapapun tingginya gaji yang mereka terima. 

Politik tidak akan diukur dari berapa besar gaji wakil rakyat, melainkan dari seberapa dalam mereka menjaga amanah. Dan sejauh ini, yang tampak hanyalah sebuah solidaritas yang salah arah: solidaritas elit di atas derita rakyat.

***

*) Oleh : Dandy Sihotang, Ketua Bidang Aksi dan Pelayanan BPC GMKI Medan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Medan just now

Welcome to TIMES Medan

TIMES Medan is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.