TIMES MEDAN, JAKARTA – Peristiwa Arab Spring berkaitan erat dengan people power atau kekuatan rakyat. Dapat disebut demikian karena fenomena Arab Spring ini dipicu pertama kali oleh masyarakat yang melakukan protes terhadap pemerintahan menuntut sistem demokrasi dan menghapus monarki.
Latar belakang munculnya gerakan ini dari Tunisia, pada saat itu kondisi negara Tunisia dapat dibilang tidak begitu baik, karena terjadinya penurunan ekonomi, pengangguran dan korupsi tinggi, kemiskinan dan rezim yang sewenang-wenang. Tidak hanya itu, kebebasan masyarakat pun diberi batasan seperti akses internet disensor, komunikasi melalui surel maupun telepon dimonitor, bahkan pers juga tidak diberi ruang kebebasan.
Itulah beberapa gambaran mengenai keadaan di Tunisia saat itu. Hingga pada suatu hari ada pemuda yang bernama Muhamed Bouazizi, membakar dirinya sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang atas dagangannya. Masyarakat kemudian melihat ini sebagai bentuk pengorbanan dan bentuk kegagalan rezim otoriter. Selain itu masyarakat juga protes mengenai keadaan ekonomi Tunisia saat itu, penurunan perekonomian berdampak terhadap krisis pangan dan tingginya tingkat pengangguran
Sementara itu di Mesir walaupun perekonomian berjalan cukup baik dan tidak terjadi krisis layaknya di Tunisia, namun ekonomi internal Mesir menjelang Arab Spring ini sangat kacau. Sistem perekonomian yang berpusat membuat pemerintah memiliki kontrol penuh terhadap perekonomian, sehingga masyarakat, perusahaan, investor maupun pelaku kegiatan ekonomi lainnya mengalami keterbatasan ruang gerak dalam menjalankan aktivitas ekonomi. Penanaman modal oleh investor asing melalui peraturan yang sangat ketat, keterlibatan perusahaan swasta juga sangat dibatasi.
Dari segi militer, Mesir terlihat lebih otoritarian jika dibandingkan Tunisia. Hal ini karena dalam menjalankan pemerintahan, militer memiliki keterlibatan yang cukup kuat di sektor-sektor pemerintahan. Seperti pengangkatan jenderal militer sebagai menteri pertahanan dan cara pemerintahan Husni Mubarak dalam mempertahankan kekuasaan yang totaliter melalui kekuatan militer. Sementara itu dalam melaksanakan kebijakan luar negerinya Mesir di bawah pemerintahan Husni Mubarak cenderung pro-Barat, bahkan Husni Mubarak membangun rezim dan mendapatkan dukungan dari Barat. Sama halnya dengan peristiwa di Tunisia, masyarakat Mesir juga menuntut Husni Mubarak turun dari jabatannya, menolak otoriter dan mendorong untuk reformasi demokrasi
Kemudian selanjutnya di Suriah, sama halnya dengan Mesir pemerintah Suriah atau pada masa kepemimpinan Bashar Al-Assad juga menjalin kedekatan dengan Barat terutama AS. Walaupun begitu pada masa pemerintahan saat itu mengalami keterbukaan dengan mulai munculnya forum diskusi masalah kebutuhan demokrasi, diperbolehkannya kritik soal pemerintahan dan kebebasan untuk menyampaikan mengenai aspirasi politik.
Namun hal ini tidak bertahan lama hingga akhirnya tertutup kembali membuat para pengkritik pemerintah ditanggkap dan menutup forum-forum diskusi. Sama halnya seperti di Tunisia, di Suriah juga terjadi aksi pembakaran diri sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintah yang menempatkan rakyat kecil di Suriah dalam tekanan hidup yang berat.
Dari fenomena tersebut, ada persamaan latar belakang yang memicu latar belakang dari kejadian ini, yakni protes masyarakat kepada pemimpin mereka yang menjalankan pemerintahan secara otoriter. Masyarakat merasa diperlakukan tidak adil dan tidak mendapatkan hak yang semestinya. Kemudian tingginya angka kemiskinan dan krisis ekonomi yang dipimpin oleh rezim otoriter tersebut sehingga meningkatkan angka pengangguran. Juga mengenai pembatasan ruang berekpresi oleh para rezim otoriter mmbuat masyarakat susah mengemukakan pendapat , aspirasi dan kritik terhadap pemerintah termasuk juga terbatasnya kebebasan pers.
Selain tidak puasnya masyarakat terhadap kepemimpinan rezim yang otoriter, adanya kemunculan para kelompok intelektual yang paham akan konsep demokrasi terus membangun kesadaran masyarakat. Komunitas intelektual ini memiliki pengaruh yang besar terutama sebagai faktor utama peraawanan massa terhadap rezim otoriter. Faktor lainnya adalah media, dengan adanya media membuat kabar keberhasilan di Tunisia menggulingkan pemerintahan otoriter ditiru di negara-negara arab, berharap rezim otoriter berakhir dan digantikan demokrasi.
Di luar dari masalah berkuasanya rezim otoriter yang memerintah negara, tradisi politik negara Arab dengan kontrol pemerintah yang sangat kuat dan partai politik yang tidak berperan aktif serta masyarakat sipil memiliki posisi lemah dan di control sepenuhnya oleh pemerintah membuat aktivitas rezim otoriter di negara-negara arab tumbuh subur. Kemudian budaya arab patriarki yang menempatkan laki-laki lebih tinggi dari perempuan dan segala otoritas dipegang oleh laki-laki dalam rumah tangga juga merupakan refleksi dari otoritarian dalam lingkup rumah tangga. Sehingga dari sini juga dapat diartikan budaya otoriter di wilayah Arab sudah tertanam bahkan lingkup terkecil seperti rumah tangga.
Jika di tingkat rumah tangga saja sudah terjadi praktik otoritarian, lantas darimanakah munculnya semangat menumbangkan rezim otoriter untuk kemudian digantikan dengan demokrasi?
Selain dari adanya efek domino dan buruknya pemerintahan system otoriter yang banyak merugikan masyarakat, semangat mewujudkan negara dengan sistem demokrasi ini juga muncul dari adanya interaksi negara Arab dan Amerika Serikat yang merupakan negara asal mulanya berawal wacana demokrasi. Walaupun tidak ada sistem yang sepenuhnya sempurna untuk mengorganisir sebuah negara, namun peresensi setuju dengan pendapat penulis buku bahwa sistem demokrasi merupakan sistem yang baik jika dibandingkan dengan sistem lainnya. Dalam demokrasi terdapat dialog antara pemimpinan dan rakyat, dengan begitu rakyat dapat menyampaikan aspirasi politik dan kritiknya kepada pemerintah. Melihat pada fenomena Arab Spring, walaupun terjadi chaos dibeberapa negara karena adanya protes rakyat terhadap pemerintah yang menuntut turun dari jabatannya karena buruknya pemerintahan otoriter, namun hal ini dinilai baik. Dapat dikatakan baik karena pada peristiwa ini masyarakat untuk pertamakalinya dapat menyuarakan pendapat mereka.
Dalam buku ini menjelaskan beberapa hambatan yang ada dalam mewujudkan proses demokratisasi, baik dari segi sosial maupun budaya. Namun dari sekian banyak hambatan, penulis buku ini menangkap faktor utama hambatan adalah karena adanya kebingungan baik dari sisi pemerintah maupun rakyatnya. Harapan berseminya demokrasi di negara Arab tentu saja memiliki beberapa tantangan untuk mewujudkannya, terutama melihat budaya Arab yang selama ini erat kaitannya dengan sistem patriarki tentu tidak mudah mengubahnya begitu saja.
Melihat sejarah Arab yang mayoritas dipimpin dengan sistem kerajaan ataupun pemerintahan dari kelompok militer sehingga Arab diyakini tidak memiliki pengalaman tentang bagaimana sebenarnya membangun negara yang demokrasi. Hal ini jika dilihat dar sisi pemerintahan. Kemudian jika melihat dari sisi rakyat, rakyat yang selama ini dipimpin oleh kepemimpinan otoriter saat terjadinya pergeseran ke demokrasi, rakyat mengalami kebingungan bagaimana seharusnya menjadi masyarakat dari sistem demokrasi yang berlaku. Karena dalam demokrasi mengharuskan adanya keterlibatan dan partisipasi politik dari rakyat, sementara rakyat terbiasa dipimpin oleh pemerintah otoriter yang membuat mereka terbiasa mengikuti apapun keputusan pemerintah. Hal ini membuat daya kritis dan kritik rakyat terhadap pemerintah kurang kemudian menyebabkan partisipasi politik rendah.
Selanjutnya tantangan demokrasisasi juga datang dari faktor eksternal, yakni dari negara asal demokrasi, Amerika Serikat. Amerika Serikat aktif dalam menyebarkan dan melakukan upaya demokratisasi namun di sisi lain Amerika Serikat juga turut menggagalkan proses-proses demokratis di beberapa negara Arab.
Standar ganda ini dilakukan oleh Amerika Serikat disebabkan oleh ketakutan akan adanya kebangkitan dari politik islam di kawasan negara Arab. Karena kebangkitan politik di Arab dianggap menjadi sebuah ancaman bagi kepentingan AS dan sekutunya di Timur Tengah. Sehingga Amerika Serikat beranggapan jikapun demokrasi harus tumbuh di Arab, maka demokrasi yang bagus adalah demokrasi yang menjaga kepentingan Barat. Contoh upaya penggagalan proses demokrasi oleh Amerika Serikat adalah campur tangan Amerika Serikat yakni menggagalkan kemenangan Mursi melalui kudeta yang didalangi oleh kelompok milter dengan dukungan Barat. Hal ini dilakukan karena dengan kemenangan Mursi, AS menilai akan kehilangan sekutu penting mereka, sehingga demi mengamankan kepentingan AS pun mengambil tindakan intervensi terhadap proses demokrasi.
Selain Amerika Serikat, Uni Eropa juga turut masuk ke dalam proses fenomena Arab Spring. Berbeda dengan Amerika Serikat yang menggunakan standar ganda dalam merespons fenomena demokratisasi di negara-negara Arab, Uni Eropa justru memberikan respons baik dan memberikan dukungan bahkan bantuan. Namun kembali lagi seperti halnya istilah no free lunch, tidak ada makan siang gratis di dunia ini. Bantuan maupun dukungan yang diberikan bisa saja merupakan strategi pendekatan terhadap negara-negara di Arab, karena seperti yang kita ketahui bahwa negara Arab merupakan pemasok minyak dunia. Sehingga dukungan maupun bantuan yang diberikan bisa saja dilakukan dengan harapan Agar pasokan minyak dari negara Arab tidak beralih ke negara lain.
Selain Uni Eropa, pihak eksternal seperti Tiongkok dan Rusia juga turut terlibat, bukan dengan dasar alasan ekonomi sebagaimana Uni Eropa namun kepetingan untuk ingin menghentikan hegemoni Barat.
Intervensi asing yang hadir di negara Arab yang tengah ingin menumbuhkan demokrasi, membuat runyam dinamika perpolitikan dan proses demokratisasi di negara Arab. Intervensi asing yang hadir dengan membawa kepentingannya masing-masing yang berbeda. Amerika dengan kepentingan untuk menyetir demokrasi agar berjalan sesuai dengan kepentingan mereka, Uni Eropa dengan alasan kepentingan ekonomi begitu juga Tiongkok dan Rusia yang hadir dengan dasar mencegah adanya hegemoni Barat. Menjadi miris karena negara Arab malah menjadi ladang atau lapangan peperangan bagi negara-negara besar untuk mewujudkan masing-masing dari kepentingan mereka.
Begitulah tantangan demokratisasi di negara Arab, dari awal proses tumbuhnya nilai demokrasi yang dimulai dengan penyampaian aspirasi rakyat melalui protes terhadap pemimpin totaliter menimbulkan demo dan kerusuhan dimana-mana. Dorongan protes juga terjadi dibeberapa negara karena faktor ekonomi yang membuat kehidupan masyarakat jauh dari kata layak. Saat negara-negara telah mulai menerapkan praktik demokrasi muncullah beberapa hambatan baik internal maupun eksternal. Hambatan internal berkaitan dengan budaya dan sosial masyarakat yang sudah ada sejak dulu, sehingga saat menerima sistem yang baru masyarakat dinilai belum begitu siap salah satunya segi partisipasi politik.
Selanjutnya faktor eksternal yang menghambat ialah intervansi asing adanya intervensi dari negara lain seperti Amerika Serikat, Cina , Rusia bahkan Organisasi Supranasional Uni Eropa, masing –masing memiliki kepentingan membuat jalannya proses demokratisasi di negara-negara arab semakin memiliki banyak tantangan.
***
*) Oleh: Hayatunufus, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Faizal R Arief |