TIMES MEDAN, PADANG – Pembubaran diskusi-diskusi kritis di Indonesia, termasuk forum yang dihadiri oleh Refly Harun, Said Didu, dan Din Syamsuddin akhir September 2024, menandai lonceng bahaya bagi demokrasi. Diskusi yang seharusnya menjadi bagian dari kebebasan berpendapat kerap dibubarkan oleh kelompok-kelompok tak dikenal yang bertindak seolah-olah memiliki wewenang untuk membungkam suara kritis. Peristiwa ini menegaskan betapa rapuhnya ruang demokrasi di Indonesia saat ini.
Kebebasan berpendapat, termasuk hak untuk berdiskusi secara terbuka, dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." Jaminan ini merupakan esensi dan fondasi demokrasi di negara kita, setiap warga negara memiliki hak untuk menyuarakan pendapatnya tanpa rasa takut akan represi atau intimidasi. Pembubaran diskusi-diskusi kritis, seperti yang terjadi di Kemang, jelas melanggar prinsip konstitusional. Tidak hanya merugikan kebebasan sipil, tindakan ini juga menodai komitmen negara terhadap demokrasi.
Pola Otoritarianisme Baru
Kasus pembubaran diskusi ini bukanlah insiden pertama, dan tidak jarang pula melibatkan tindakan intimidasi oleh aktor non-negara, tetapi dengan kepentingan terselubung yang dapat dikaitkan dengan otoritas tertentu. Refly Harun, yang turut serta dalam diskusi di Kemang, mengungkapkan bagaimana acara tersebut dipaksa bubar oleh sekelompok preman yang mendatangi lokasi diskusi dan menuntut pembubaran dengan alasan keamanan.
Hal yang menjadi perhatian adalah tidak adanya tindakan cepat dari aparat untuk melindungi hak warga negara dalam berekspresi. Hal ini menimbulkan pertanyaan: siapa sebenarnya yang berada di balik pembubaran ini? Apakah ini semata-mata tindakan premanisme, atau ada tangan-tangan tak terlihat yang mengendalikannya?
Mengutip teori gerakan sosial yang dilontarkan Manuel Castells (2005), tindakan kelompok yang membubarkan diskusi dapat dikategorikan sebagai upaya mengontrol informasi dan wacana publik. Castells menjelaskan bahwa dalam era jaringan komunikasi yang global, pergerakan sosial yang berusaha mendominasi narasi dan informasi memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini publik.
Dalam konteks Indonesia, pembubaran forum diskusi yang kritis terhadap pemerintah mencerminkan pergerakan yang terstruktur untuk menjaga stabilitas kekuasaan dengan membungkam diskusi-diskusi yang berpotensi menggoyang hegemoni. Ini menunjukkan bahwa ruang dialog dan diskusi publik tengah dikendalikan oleh kepentingan politik tertentu yang takut terhadap dampak dari pertanyaan dan pernyataan kritis yang sejatinya berniat positif dalam rangka memberikan ide dan saran terhadap berbagai problem kebangsaan.
Lebih jauh, Castells menyebut bahwa pergerakan sosial di era digital sangat dipengaruhi oleh kemampuan untuk mengontrol narasi dan wacana publik. Jika wacana kritis dibungkam dan diskusi yang berlawanan dengan pemerintah dihentikan, maka ruang demokrasi semakin menyempit.
Pembubaran diskusi bukan hanya tindakan represif terhadap kebebasan berbicara, tetapi juga strategi untuk mendominasi narasi politik yang sesuai dengan kepentingan penguasa. Dalam hal ini, kelompok-kelompok yang membubarkan diskusi berperan sebagai penggerak sosial yang mengamankan kekuasaan melalui aksi intimidasi.
Dari Kebebasan ke Represi
Kasus di Kemang hanya mempertegas gejala represif dan intimidatif yang mengancam kebebasan sipil di Indonesia. Situasi ini mengindikasikan bahwa negara tampaknya tidak mampu, atau mungkin tidak mau, melindungi warganya yang ingin menggunakan hak kebebasan berekspresi. Pemerintah seharusnya menjaga iklim demokrasi yang konstruktif, di mana dialog kritis dan dialektika ide berkembang tanpa ancaman fisik atau intimidasi.
Pembiaran terhadap pembubaran diskusi ini memperlihatkan gejala diktatorisme lunak, di mana pemerintah menggunakan kelompok-kelompok pro-status quo untuk membungkam suara-suara kritis secara tidak langsung. Ini mirip dengan tipe diktator yang yang dikontrol oleh partai-partai politik (Geddes, 1999).
Tindakan pembungkaman suara kritis jelas-jelas bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi yang menekankan urgensi check and balances dalam sistem politik. Secara tak langsung hal ini juga memunculkan indikasi ketakutan kelompok status-quo terhadap wacana-wacana kritis yang dapat menggerakkan massa untuk menentang kebijakan atau tindakan yang dinilai merugikan rakyat. Padahal, dalam sistem demokrasi, peran oposisi dan kritisisme adalah instrumen penting untuk menjaga agar kekuasaan tidak bergerak menjadi absolut.
Pesan Pemerintah?
Situasi dan tindakan represif dari pihak-pihak yang pro status-quo memberikan pesan yang jelas bahwa pemerintah, baik secara langsung maupun melalui aktor-aktor non-negara, tidak siap menghadapi kritisisme yang muncul di ruang publik. Pembubaran diskusi di Kemang bisa jadi mencerminkan tren global di mana otoritarianisme semakin menguat dengan menggunakan metode yang lebih halus, seperti pemberdayaan kelompok-kelompok preman untuk membungkam kritik.
Tindakan semacam ini menimbulkan ketakutan bahwa demokrasi Indonesia sedang berada dalam ancaman serius. Melalui tindakan seperti pembubaran diskusi ini, pemerintah justru mempertontonkan kecenderungan otoritarian bahkan diktator, di mana suara yang berbeda tidak lagi dianggap sebagai bagian dari kebebasan sipil, melainkan ancaman yang harus dihancurkan.
Jika pemerintah terus membiarkan atau bahkan mendukung tindakan-tindakan represif terhadap kebebasan berekspresi, maka kita akan melihat kemunduran demokrasi yang tidak hanya membahayakan hak-hak sipil, tetapi juga merusak tatanan politik yang telah dibangun sejak awal reformasi.
Sekali lagi, kasus pembubaran diskusi kritis yang melibatkan Refly Harun dan para tokoh lainnya menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia sedang menghadapi ujian serius. Tindakan represif ini tidak hanya melibatkan kekuatan fisik, tetapi juga kontrol narasi publik oleh kelompok-kelompok yang berusaha mempertahankan status quo. Pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah tegas untuk melindungi hak-hak warganya dalam berekspresi dan memastikan bahwa kebebasan sipil tidak terkikis oleh tindakan represif yang berkedok keamanan atau stabilitas.
***
*) Oleh: Mohammad Isa Gautama, Dosen Komunikasi Politik dan Kepala Gerakan Bersama Antikorupsi Universitas Negeri Padang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi TIMES Indonesia.
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Diskusi Kritis Vs Diktatorisme Pemerintah
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |